[OS] Yellow Tulip – Sunflower squel

Yellow Tulip


Main Cast    : Kim So Eun, Kim Beom

Other Cast   : Im YoonA


Genre           : sad


Type            : Drabbel



Para cast atau tokoh disini author hanya meminjam tidak ada pelanggaran hak cipta.
Untuk tokoh KIM SANG BEOM , KIM SO EUN , dan aktor lain author hanya meminjam untuk keperluan cerita , mereka adalah milik Tuhan , Orangtua , Keluarga , Agensi , Fans , dan Kekasih mereka.
Cerita ini hanyalah fikti belaka jika ada kesamaan alur , tokoh , tempat , dan judul itu hal yang tidak di sengaja.



Musim Semi 2013,
        Sudah 3 kali aku melewati musim semi setelah kelulusan sekolah menengah, aku benar-benar bersyukur pada Tuhan, bahkan sampai sekarang aku masih diberi kesempatan untuk menghirup udara, melihat indahnya dunia, mendengar segala macam suara, merasakan rasanya kehidupan, Tuhan bahkan masih menyimpan rapat perasaan yang aku rasakan, betapa baiknya Tuhan padaku sungguh aku merasakan segala nikmat yang tak terkira tak terhitung jumlahnya. Terimakasih Tuhan.
Mataku kini melukiskan hamparan warna-warni yang terpancar dari kumpulan bunga yang sedikit mengkatup itu, mereka sepertinya nampak malu menunjukkan mahkota mereka dihadapan dunia, bibirku sedikit memberi lekukkan hingga kini terlukis sebuah senyuman diwajahku, neomu yeoppoda ,satu kalimat menggambarkan pemandangan dihadapanku itu, Taman belakang universitas memang sangat cocok bagi mahasiswa yag menyukai keindahan beberapa tanaman dan bunga berada disana, pada musim panas cukup baik untuk melihat bunga termasuk bunga matahari apalagi di musim semi? Tak pernah aku lewatkan bunga matahari yang selalu diam berdiri di pinggiran pagar kayu, hanya sekedar melihat perkembangannya saja apakah dia sudah mampu mendekati sanga surya? Ternyata belum bahkan jauh dari kata mendekat, hanya melangkah pun sangat sulit, semakin jauh jarak antara sang bunga dan sanga matahari. Pandanganku.
Diantara banyaknya warna yang saling terselip satu sama lain, seakan saling berlomba bahwa mereka adalah bunga dengan warna paling baik, namun hanya satu warna yang benar-benar mencolok dilensa mataku, si kuning. Kini aku merasa bernostalgia dengan satu warna ini, merasa mengingat satu bunga yang benar-benar mencerminkan diriku, namun kini berbeda dengan dulu, bunga itu si bunga matahari yang kini kulihat dihadapanku si Tulip kuning. Mataku yang semenjak tadi menggambarkan kebahagian kini mulai sedikit sayu, ingatan masa lalu di masa sekolah mulai berlalu lalang dalam memeori ingatan seperti klise-klise film yang diputar, bahkan wajah pria itu kini singgah dipikiranku. Tanganku yang sedari tadi menggenggam buku diary ber-coverkan setangkai bunga tulip kuning, kini beralih menyentuh dadaku ,

deg-deg-deg-deg

Suara pintu jantung yang tertutup lalu terbuka terasa bekerja lebih cepat dari biasanya, rasa bahagia mengingat senyumnya, rasa senang saat sibunga matahari selalu dibiarkan menatap pada sang surya, rasa sesak menyelubungi tubuhku mengingat bukan dirikulah si bunga mawar itu, rasa rindu yang seakan sampai puncaknya bercampur sudah. Ku hirup oksigen sebanyak-banyaknya setidaknya untuk menetralkan pikiran dan hatiku, hanya ini yang aku bisa lakukan, membuat diriku tenang, sama seperti dulu yang hanya mampu duduk dan melihat sang surya yang begitu bersinar dari jauh tanpa bisa mendekatinya, betapa malangnya bunga matahari itu, bahkan semakin jauh jaraknya dengan dirinya. Harum aroma tulip kini menyergap hidungku, seakan memberikan rangsangan pada syaraf-syaraf dalam tubuhku, menciptakan sebuah tenaga bagiku, kulirik jam putih yang melilit dilengan, helaan nafas terdengar sudah, sayang aku harus kembali kekampus, bunga tulip maafkan aku, aku pasti akan kembali.
      Langkah demi langkah kususuri koridor kampus sedikit jauh memang taman belakang dengan kelaskku perlu melewati gedung Managemen Perbisnisan, Hubungan Internasional, dan beberapa kelas lain. ‘Seni dan Sastra Korea’ itulah jurusan kuliah yang kuambil, jam memang masih menunjukkan pukul 10.00 masih ada setengah jam lagi memasuki kelas seni, langkahku sedikit berbelok ke kanan, perpustakaan tempat yang cocok bagi mahasiswa beasiswaan sepertiku, tetap mengandalkan ilham Tuhan dan berusaha menjalankannya dengan sebaik mungkin. Buku seni lukislah yang harus kubawa sampai kelas seni nanti, ahhh jinjja aku baru ingat hari ini tugas lukisan abstrak itu harus diserahkan tepat pukul 11.00, dengan sempat kulirik pergelangan kananku 10.45 ahh syukurlah masih 15 menit lagi setidaknya cukup untuk sampai ruang dosen.

***

Kantin? 2 tahun berstatus sebagai mahasiswa Shinhwa rasanya tempat yang asing bahkan tak pernah sekalipun aku masuk kedalamnya, namun kali ini dengan kepercayaan hatiku, ntah apalah itu langkahku membawaku tepat berdiri didepannya
Aku hanya memesan 1botol air mineral saja sudah cukup mengenyangakan, bukan? lagipula aku bawa bekal yang disiapkan bibi Jung tadi pagi. Ku pilih untuk duduk di kursi pojok menghadap tepat jendela yang menembus gedung laboratorium komputer,

“Lee Eun Ah, kau tahu pewaris Shinhwa?”
“tentu saja, Kim bum? Dia teman se-SMAku, wae?”
“dia.. kuliah disini”
“MWO? Yak jangan bercanda dia sedang study di London”
Sekilas percakapan kedua mahasiswi itu membuat telingaku sedikit memincing, tidak! ini tidak mungkin kurasa pendengaranku sedikit terganggu. Tuhan sebenarnya apa yang Engkau rencanakan? Kim bum? Lelaki itu berstatus mahasiswa Shinhwa? Mengapa si bunga matahari yang malang ini selalu didekatkan dengan sang matahari?
Tidakkah kalian sudah tahu bahwa ‘sunflower’ hanya mampu memandang sang surya? Tak pernah mampu untuk meraihnya? Anni.. bahkan mendekatinya sangat sulit, benar! Sangat sulit, karena aku terlalu takut akan takdir itu. Tubuhku bangkit dari kursi penyangga, satu tujuanku kini kembali ke perpustakaan dan menunggu kelas selanjutnya..

DIAM

      Hanya ini yang aku lakukan! TIDAK!! Bahkan kakiku rasanya tak mampu menyokong berat tubuhku, disana! Berdiri sosok tinggi, tegap atletis, bahkan wajanya semakin rupawan, raut dewasanya menambah kesan tampan. Kim bum berdiri tepat didepan pintu kantin. Dan, kini tubuhku kembali terduduk, sempat rasa senang bahkan bahagia tapi tak berselang lama, saat sadar tak hanya dirinya sendiri, YoonA! Im YoonA ada disampingnya, she always beside him! Mengapa seperti ini?
aku bukan siapa-siapa kenapa seperti ini? Riuh piruh mahasiswi khususnya cukup terdengar, dengan kekuatan yang Tuhan berikan kini aku beranikan untuk berdiri dan keluar, terlalu lama aku melihat mereka rasanya jantungku akan berhenti berdetak. Cukup himpitan massa yang menghimpit ruang hatiku, biarkan aku hidup walau dalam kesakitan, biarlah aku hanya melihat kebahagiaanmu.
Tak lama suara bisikkan mahasiswi mulai mengisi penuh isi ruangan kantin, aku tahu, siapa yang tidak kagum dengan sosok lelaki ini? Bahkan memandangnya dalam keadaan dekat, sungguh keberuntungan bukan? Tapi bisikan mengenai YoonA juga tak kalah bising, sudah tak diragukkan lagi sanga mawar! Primadona.

***

        Rintikkan air hujan mulai membasahi jalanan kota Seoul, rasanya benar-benar sejuk, air membasuh jalanan yang tadi terik karena matahari, halte bus sedikit penuh orang-orang juga butuh berteduh-kan? mataku terpejam menikmati terpaan air yang membasuh wajahku, dingin.

Tap tap tap

Aku dengar suara langkah kaki berlari mendekat halte, kupalingkan wajahku melihat pelari tadi. Kim bum? Kulihat dirinya berlari seraya menutupi rambutnya dengan tangan kanannya, Rambutnya sedikit basah karena air hujan, jaket hitam menutup wajahnya, Tuhan mengapa kau cipakan makhluk adam setampan dia? Ku pejam-kan mataku kesekian kalinya. Tuhan aku tahu ini semua jalanmu, ini jalanan skenario yang telah engkau siapkan untukku mendekatkan dirinya denganku? Tapi bukankah akan semakin nampak terlihat malang si bunga matahari itu.
Bahkan saat dirinya kini berdiri disebelahku dan sekarang terduduk dibangku halte tepat disisi kananku. Remasan tanganku pada rok peach selutut rasanya semakin kasar. Ku rasa dinginnya hujan kini tak mampu menembus tubuhku, keringat dingin mulai membasahi kedua tanganku, hal yang terjadi saat aku gugup. Benar! Aku gugup dan…… takut.
Dan… aku hanya bisa menunduk menatap sepasang sepatu miliknya, dan ini sudah membuatku cukup senang walau kalian tahu betapa gugupnya si bunga matahari ini. Sudah cukup senang dan tenang walau hanya bisa menatap kakinya, membuatku terhanyut dalam perangkatnya, Tuhan ku tahu kau begitu adil. Walau tak pernah sekalipun dia menatapku, ijinkan aku selalu menatapnya meski harus menahan pedih saat menatap sinarnya.

***

      Hari terus berlalu Tuhan masih memberiku kesempatan untuk melihat waktu, dan melihat dirinya. Terlalu sakit untuk mengingat hal itu, karena wanitamu selalu ada disampingmu, ntah dari sudut mana aku melihat Kim bum tetap selalu hadir, bahkan dalam mimpi sekalipun.
Langkah demi langkah dengan pasti kujajakan menyusuri tiap koridor dan beberapa gedung fakultas dan terakhir koridor depan gedung bisnis, aku sedikit menghirup oksigen sekitar ini biasa kulakukan jika gugup, ntah mengapa hatiku sedikit berdegup melewati gedung ini.
Tanganku dengan setia membawa beberapa buku sastra dan bahu kananku terkait tas polkadot. Ku percepat sedikit langkahku sembari menunduk tanpa melihat jalanan, , tanpa melihat arah jalanan karena terlalu fokus dengan sesuatu dibawah sana
Dan Bukkk…

“Ahhh..”
Aku sedikit meringgis dengan mulutku yang sedikit terbuka membentuk huruf ‘O’ kecil, melihat beberaa buku yang kubawa berserakan kelantai. Aigoo.. apa aku akan terkena masalah karena hal ini? Hatiku secara refleks langsung berucap mengingat bagaimana kejamnya sunbae-sunbae pada hoobae-nya yang menurut mereka menyebalkan atau mungkin pembawa sial. Tuhan selamatkan aku. Aku bahkan belum berani mendongkakkan kepalaku, terlalu takut bagaimana jika masalah kembali datang? Terlebih aku hanya mahasiswi beasiswaan, ahh..
“Gweanchana?” indra pendengaranku menangkap suara nyaring lelaki, sangat dekat bahkan rasanya tak ada jarak antara telingaku dengan gelombang suara itu. Tunggu… suara ini? Annio… tidak mungkin jika dia..
“agashi.. gweanchana? Mianhae aku kurang hati-hati.” Tuhan ku mohon sadarkan aku dari mimpi ini, apa ini juga rencanamu? Kini dengan perlahan aku dongkakan kepalaku, dan.. TEPAT! Dia? Kim bum benar-benar dihadapanku sekarang! Tidak… jantungku.. omoooo~

Dag dig dug deg deg.. Tuhan jangan sampai da mendengar suara degup jantungku, jangan!
Ku lihat matanya lurus belum ada yang terucap dari mulutku, satu kata saja, tidak ada! Ku lihat matanya menatapku dengan penuh kekhawatiran. Aku bisa melihatnya, dai tipe orang yang penyayang.
“mianhae.. agashi.. gweanchana?” kesadaranku perlahan mulai datang, Tuhan.. bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan. Aku menganggukan kecil kepalaku, dia tersenyum! Senyum itu.. Tuhan engkau sangat menyayangiku bahkan masih sempat membiarkan sanga bunga matahari ini melihat senyum sang surya, bolehkah? Bolehkah jika aku ingn, mengingkan senyuman itu hanya diberikan untukku? Bolehkah aku memiliki senyuman Kim bum? Bolehkah jika aku memilikinya? Bolehkah jika aku mencintainya? Bolehkah aku berharap tentangnya?
      Dia terus tersenyum lega.. mungkin yang ia rasakan. Ahh… kini kesadaranku benar-benar pulih, aku sedikit menunduk dan segera berdiri dan berulang kali aku membungkukkan badanku sambil meminta maaf berulang-ulang sejalan dengan bungkukkan badanku.
Dia tertawa.. Tuhan? Sungguhkah ini bukan mimpi? Kau benar-benar memberiku sebuah keajaiban besar, aku bisa mlihatnya anni.. maksudku mendengarnya tertawa pelan, seperti terkekeh geli? Aku sedikit salah tingkah karena dirinya terus terkekeh pelan, aku mengangguk tengkukku, dan… ahhh bukuku!
Aku segera berjongkok dan mengambil buku-bukuku, mataku kini menangkap sebuah tangan kekar juga ikut membantuku mengambil buku yang berserakan dilantai, aku melakukannya lagi! Membungkuk berulang-ulang seraya berterimkasih, ku dengar ia tertawa pelan lagi..

“mianhae.. aku benar-benar tidak sengaja menabrakmu, apa ada yang terluka?” suaranya, benar-benar lembut terdengar genel untk seorang pria, masih sama seperti dahulu dia tak banyak berubah memang. Aku hanya mengangguk lagi, belum mampu mengucapkan satu katapun selain mianhae dan gamshamnida, bahkan menenangkan hatiku saja belum bisa.
“Agashi? Rasanya kini pernah bertemu, eoh?” aku menatapnya, Tuhan.. apa dia akan mengingatku? Mengingat gadis beasiswaan Siswa Shinwa? Yang selalu satu kelas denganya? Gadis 27?
“ahhh.. geureu.. aku ingat! Kau gadis di halte bis itu? Saat hujan? Dan… anni rasanya aku juga pernah melihatmu sebelumnya.” Aku hanya menatapnya yang sedang berusaha mengingat sesuatu, mengingat seorang Kim So Eun! Apakah dia akan ingat? Atau… akan lupa? So Eun jangan terlalu berharap memang siapa dirimu?
“AHHHH.. gadis 27? XII Sains 3?” Aku menghela nafas lega.. lega karena ternyata dia mengetahuiku sjeka SMA, ntah apa rasanya,, aku seperti mendapat lotre. Sangat bahagia benar, dia ternyata dulu memandangku? Apakah pantas sanga bunga matahari ini dipandangi sang matahari?
Aku hanya mengangguk lemah, dia terus tersenyum kearahku, ini membuatku salah taingkah, jadi segera saja ku tundukkan kepalaku melihat kotak-kotak ubin koridor gedung bisnis.

“OPPA~~!” Suara ini? Wanita ini? Im YoonA! Syaraf-syarafku semakin terasa dekat dengan suara ini, aku sedikit mengalihkan pandanganku dari ubin ke samping kanan dan…. tepat! Yoona kini tepat didepan kami, ku lihat Kim bum tersenyum kearah wanita itu, air mukanya terpancar bahagia, raut wajah kedua orang ini tampak bahagia sekali, ntah kenapa ulu hatiku semakin sesak, bodoh! So Eun bodoh.. mengapa kau tak sadar diri, heoh? Kim bum mungkin ingat dirimu tapi hanya ingat si gadis 27, gadis beasiswaan.
Mataku kembali menatap lantai ubin dibawah rasanya, harapanku tadi mulai menciut kembali, siapa aku memang? Hanya si bunga matahari yang mengharap sesuatu yang tak mungkin datang. Bahkan kini bunga Tulip kunging bersanding untukku, bunga yang menunjukan betapa artinya mengarah padaku. Aku memutar tubuhku 180o kekanan berniat meninggalkan mereka berdua yang tengah asyik dengan dunianya tanpa ada aku didunia mereka!

***

         Cuaca dimusim semi sudah terasa hangat mungkin sbentar lagi memasuki msuim panas, aku melangkahkan kakiku dengan ringan menuju tempat biasa, taman belakang, tempat yang jarang dikunjungi, tentu saja hanya ada taman bunga yang diurus mahasiswa jurusannya, ku dudukan dengan nyaman diriku menatap beberapa bunga, mataku kini hanya terfokus pada tulip kuning ditengah tengah tulip-tulip warna lainya.
Tulip kuning? Aku jadi tertawa sendiri mengingat bunga ini, kata-kata ibu sejak kecil sampai aku dewasa benar-benar terekam dengan baik dimemory otakku, eomma yang saat muda seorang pencinta bunga, ia selalu mengatakan hal ini padaku

“seorang wanita harus seperti bunga tulip kuning, kau tahu mengapa sayang? Bunga tulip menyimpan dengan rapi perasaanya, dan seorang wanita harus sepetinya, menutupi perasaanya seorang diri, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Meskipun ia sakit tapi dengan rapi ia menyimpan dan membungkus perasaanya. Bunga matahari? Ibu rasa keduanya memilik artian sama, terlalu tertutup dan menyimpan rapi perasaan mereka, meski sakit mereka rela merelakan kebahagiaannya demi orang lain.”
Ku tatap kembali bunga tulip itu sungguh indah dipandanga bahkan membuatku tak ingin beranjak dari tempat duduk, benar-benar indah, segera pasang tempat melukisku dan segera ku keluarkan sekumpulan cat dari tas cokelat milikku, sayang jika ini dilewatkan, sungguh cantik.
Dengan perlahan kuoleskan dengan teliti dan dengan cekatan tentunya, dengan penuh perasaan kuas itu seakan sudah lihai menari diatas kanvasku bersama dengan tangan, yahh smereka seperti sedang berdansa, mungkin. Lukisan yang ku gambar sedikit abstrak namun jika orang meneliti dengan benar ini adalah lukisan bunag tulip bersatu dengan bunga matahari dan mereka disatukan dengan sang surya. Hal ini serng kulakukan jika teringat tentang diriku, huh.. sungguh menyedihkan bukan?
30 menit sudah berlalu dan,, yahh lukisanku hampir jadi, aku tersenyum penuh kemenangan rasanya jika sudah bersatu dengan kanvas, cat, kuas, rasanya itu dapat menghilangkan beban pikiranku, termasuk pikiran tentang dirinya, aku jadi terdiam lagi mengingat lukisan karyaku.

“Bunga matahari? Bunga tulip? Dan matahari? Benar?” Aku segera memutar kepalaku kebelakang hampir 360o mungkin, dan tubuhku kali ini terdiam melihat sosok lelaki tegap dibelakangku tengah berdiri dengan santai sambil menyesap segelas vanilla lattenya, aku benar-benar mematung menatapnya, bukan hanya karena dia dibelakangku aku terdiam seperti ini, tapi…. dia tahu lukisan abstrak milikku? Sulit dipercaya ini lukisan abstrak tapi dengan mudah ia menebaknya, apa dia pecinta lukisan? Atau seorang seniman? Aku harap dia tidak tahu arti lukisan ini..

“kau memendam perasaan pada seseorang? Nona 27?” mataku semakin terbelalak tak kala dia bahkan bisa menebak arti sesungguhnya? Ahh eotteokkeh..? apa dia seorang psikiater? Atau seorang peramal? Atau dia tahu jika aku….
“ehem.. aku belajar dari ibuku sedikit, ibuku senang melukis dan senang mengoleksi bunga-bungaan, makanya aku sedikit tahu, dan lagipula aku sudah melihatmu melukis dari awal jadi aku sedikit paham..” dia dengan cepat menjawab kebingunganku dengan senyumannya, Tuhan apa ini juga bagian rencanamu? Aku hanya mengangguk pelan sebagai jawaban untuk pertanyaan pertamanya
“ne ini bunga mathari, dan tulip kuning, disatukan dengan matahari” satu kalimat yang mampu aku keluarkan untuk pertama kalinya pada Kim bum, pada Kim bum. Ku lihat dia mengangguk paham,,
“kau menyukai seseorang? Sampai-sampai kau melukis bunga-bunga itu? Setahuku, bunga mathari dan bunga tulip kuning mereka sering diartikan sebagai cinta terpendam khusunya seorang wanita,” Aku hanya terdiam tak mungkin aku jawab iya, sedangkan dirinyalah objek utama ini. Dan jika aku jawab tidak? Itu mustahil karena ucapannya benar.
“mian aku lancang hehe, hanya saja aku suka lukisanmu ini, dan mengartikan sesuai pemikiranku” aku hanya diam menatapnya yang ntah sejak kapan sudah duduk disebelahku yaa meski masih ada jarak hampir 70 cm. Ia terus tersenyum dan matanya menatap lurus kedapan menghadap bunga matahari yang ditanam disekitar pagar kayu.
“Bunga matahari? Menurutku ia terlalu tertutup akan dirinya, hingga orang yang ia ‘target’kan tidak tahu sama sekali dan itu menyakitkan dirinya sendiri, apalagi jika orang itu sudah memiliki pasangannya?” aku terdiam mendengarnya berucap ntah sejak kapan kami bisa dekat bahkan terbuka seperti ini? Aku yakin ini juga alur yang Tuhan siapkan untukku.
“sama halnya seperti bunga tulip kuning, pandanganku terhadap mereka, aku hanya ingin memberi mereka motivasi dan dorongan bahwa mereka juga berhak dicintai dan mencintai, mereka harus lebih berani dengan perasaan mereka terhadap orang yang mereka ‘targetkan, daripada sakit sendiri? Aku lebih baik mengungkapkannya ntah apalah jawaban nantinya, bukan begitu lebih baik?” aku hanya menganggukkan kepalaku, bolehkah? Bolehkah aku juga berani mengungkapkannya padamu? Bolehkah? Aku juga dicintai dirimu? Bukankah kau bilang bunga matahari dan tulip kuning berhak dicintai dan mencintai? Bolehkah? Apa ini sinyal baik untukku? Tapi engkau punya sibunga mawar,, bunga primadona semua orang. Bagaimana mungkin aku mengungkapkannya jikalau dirimu masih bersama sang bunga mawar itu? Tak mungkin aku mengungkapkannya.. cukup aku dan Tuhan yang tahu tentang perasaan ini, aku tak ingin ada yang terluka.. biarlah cukup aku yang terluka, Kim bum. Bukannya aku tak ingin bahagia seperti cerita orang-orang tentang cinta mereka tapi… ini berbeda bum-ah, ini snagat berbeda aku ingin seperti cerita cinta mereka tapi itu mustahil bagiku. Jika memang kita berjodoh atau memang Tuhan menakdirkan kita bersama aku yakin Tuhan sudah menyiapkannya untukku dan untukmu, jika memang bukan takdirku? Aku akan berusaha menerima takdir itu.

Kini kutatap dirinya yang lebih tinggi 18 cm dari ku, kidak u lihat kini matanya beralih dari bunga tulip kearah diriku yang jauh dibawahnya, aku menatapnya dengan sedikit berani, bolehkan?
“Aku belum bisa mengungkapkannya.. aku selalu yakin jika memang Tuhan menakdirkannya untukku, aku akan tunggu. Menunggu hari dimana saat Tuhan menjadikannya sebagai pemimpinku. Memang menunggu adalah hal yang membosankan bahkan menjengkelkan, tapi sunflower hanya bisa menunggu saat itu tiba. Karena ia yakin Tuhan memberikan yang makhluknya butuhkan bukan yang diharapkan” dia tersenyum kecil saat mendengar penuturanku dengan suara sedikit brgetar
“aku suka dengan sifatmu nona 27..”
“Kim So Eun.. bukan nona 27..” aku mengkoreksi kata-katanya sembari tersenyum kecil mendengarnya selalu menyebutku nona 27, nomor absen yang selalu setia menemaniku dari kelas 1 hingga 3 SMA.
“aku tahu.. bagaimana mungkin aku lupa.. dan saat kita bertabrakan tadi aku hanya sengaja melupakanmu, sebenarnya tidak..” aku hanya terdiam mendengar akhir kalimatnya, dia hanya tersenyum membalas kebingunganku

THE END

Komentar

  1. Hello, Sintia! Aku habis baca komentarmu di blognya kak Tiwi Harjati. Kita senasib nih. Aku juga pending setahun. Aku boleh minta kontakmu nggak? Fb, twitter, email, atau ID line :) makasih, salam pejuang!!! :)))

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer